Minggu, 27 Agustus 2017

Hukum Puasa Sunnah di Bulan Rajab



Tanya :

Ustadz, mohon dijelaskan tentang puasa sunnah di bulan Rajab. Adakah dalilnya? (M. Qibtiyah, Depok)

Jawab :

Para ulama berbeda pendapat mengenai puasa sunnah pada bulan-bulan haram (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab) dalam tiga versi. Pertama, menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, disunnahkan berpuasa pada seluruh bulan haram. Kedua, ulama Hanabilah hanya mensunnahkan puasa bulan Muharram saja, berdasarkan sabda Nabi SAW,”Shalat paling utama setelah shalat wajib adalah shalat lail, sedang puasa paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.” (HR Muslim). Ketiga, ulama Hanafiyah berpendapat yang disunnahkan dari bulan-bulan haram hanya tiga hari pada masing-masing bulan haram, yaitu Kamis, Jum’at, dan Sabtu. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/590; Abdurrahman Jaziri, Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arba’ah, 1/378; Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/81; Yusuf Qaradhawi, Fiqh As Shiyam, hlm. 125 & 141).

Menurut penulis, yang rajih/kuat adalah pendapat pertama yang mensunnahkan puasa pada seluruh bulan haram, berdasarkan dalil umum yang ada dalam masalah ini. (Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, 6/386; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 880; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 152). Dalilnya hadis dari Abu Mujibah Al Bahiliyah RA, dari ayahnya atau pamannya,”Aku pernah mendatangi Nabi SAW lalu berkata,’Wahai Nabi Allah, saya laki-laki yang pernah datang kepadamu pada tahun awal [hijrah].’ Nabi SAW berkata,”Lalu mengapa tubuhmu jadi kurus?” Dia menjawab,”Aku tak makan di siang hari, aku hanya makan di malam hari.” Nabi SAW bertanya,”Siapa yang menyuruhmu menyiksa dirimu?” Aku menjawab,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini kuat.” Nabi SAW berkata,”Berpuasalah pada bulan sabar (Ramadhan), dan satu hari setelah Ramadhan.” Aku berkata,”Aku masih kuat.” Nabi SAW berkata,”Berpuasalah pada bulan sabar, dan dua hari setelah Ramadhan.” Aku berkata,”Aku masih kuat.” Nabi SAW berkata,”Berpuasalah pada bulan sabar, dan tiga hari setelah Ramadhan, dan berpuasalah pada bulan-bulan haram.” (HR Ibnu Majah no 1741; Abu Dawud no 2428, Ahmad no 20589). Imam Syaukani menerangkan,”Dalam hadis ini terdapat dalil pensyariatan puasa pada bulan-bulan haram.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 881).

Sebagian ulama seperti Nashiruddin Al Albani dalam Dha’if Abu Dawudmenganggap lemah hadis di atas, karena terdapat ketidakpastian siapa nama periwayat hadis dari kabilah Al Bahilah itu. Namun Imam Syaukani tetap menguatkan hadis tersebut, dengan menukil pendapat Imam Mundziri yang menyatakan perselisihan nama shahabat semacam itu tak membuat cacat suatu hadis. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 881; Wablul Ghamam Ala Syifa` Al Awam, 1/514).

Adapun dalil-dalil khusus yang mensyariatkan puasa di bulan Rajab, menurut para ulama hadis-hadisnya memang lemah (dhaif). Imam Syaukani meriwayatkan dari Ibnu Subki, dari Muhammad bin Manshur As Sam’ani yang berkata,”Tak ada dalil hadis yang kuat yang mensunnahkan puasa bulan Rajab secara khusus. Hadis-hadis yang diriwayatkan dalam masalah ini berstatus wahiyah(sangat lemah) yang tak menggembirakan ulama.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 881).

Imam Syaukani mengatakan meski tak ada dalil khusus yang layak menjadi dasar puasa di bulan Rajab, namun dalil umum tentang anjuran puasa bulan-bulan haram tetap dapat diamalkan. Jadi, puasa di bulan Rajab hukumnya tetap sunnah, hanya saja sebaiknya tak berpuasa sebulan penuh, mengingat hadis Nabi SAW,”Berpuasalah kamu pada bulan-bulan haram dan berbukalah (diucapkan tiga kali), Nabi SAW lalu memberi isyarat dengan tiga jarinya, menghimpun tiga jari itu lalu menguraikannya.” (HR Abu Dawud, no 2428). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 880). Wallahu a’lam. (KH. Shiddiq al Jawie )
Read more

Sabtu, 26 Agustus 2017

Benarkah Nabi saw. Tidak Mendirikan Negara?

SoalBenarkah Nabi saw. hanya  berdakwah, mengemban risalah dan tidak mendirikan negara? Jika tidak benar, apa buktinya? 
Jawab:
Nabi saw. tidak hanya berdakwah dan mengemban risalah, tetapi juga mendirikan negara. Bahkan beliau dinobatkan menjadi kepala Negara Islam pertama. Apa buktinya?
Pertama: Nas-nas al-Quran yang memerin-tahkan Nabi saw. untuk memerintah berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT (Lihat: QS al-Maidah [5]: 48; QS al-Maidah [5]: 49).
Allah SWT memerintah Nabi saw. dengan tegas: Fahkum (putuskanlah/ perintahlah) dan Wa anihkum (Hendaknya kamu memutuskan/memerintah). Ini adalah titah kepada Rasul saw. agar memerintah, atau menjalankan pemerinta-han, berdasarkan apa yang Allah SWT turunkan kepada beliau.
Perintah ini sekaligus membuktikan bahwa tugas Nabi Muhammad saw. bukan hanya tugas berdakwah dan mengemban risalah, tetapi juga tugas memerintah, atau menjalankan pemerintahan. Dengan kata lain, Nabi saw. dengan titah ini bukan hanya ditugaskan menjadi nabi dan rasul, tetapi juga dititahkan oleh Allah SWT untuk menjadi penguasa (hakim).
Kedua, Nabi saw. juga dititahkan untuk menegakkan sanksi hukum, seperti memotong tangan pencuri, mencambuk pezina, menjatuhkan qishâsh kepada pembunuh, dan nas-nas yang lain (Lihat, antara lain: QS al-Maidah [5]: 38; QS an-Nur [24]: 2).
Perintah menjatuhkan sanksi, baik potong tangan bagi pencuri dan cambuk pagi pezina laki-laki maupun perempuan adalah perintah menegakkan hukum. Ini membuktikan, bahwa Muhammad saw. bukan hanya nabi dan rasul, tetapi juga penguasa. Ini sekaligus membuktikan, bahwa Nabi Muhammad saw. mendirikan negara. Pasalnya, tidak mungkin perintah-perintah di atas bisa dilaksanakan tanpa ada kekuasaan dan negara yang menerapkannya.
Ketiga, adanya perintah kepada Nabi saw. untuk berperang, membagi ghanîmahfai’ dan sebagainya (Lihat: QS at-Taubah [9]: 41; QS al-Anfal [8]: 60). Semua  perintah ini tidak mungkin dilaksanakan oleh Nabi saw. seorang diri; tetapi membutuhkan pasukan, panglima perang, dan keputusan politik. Ini membuktikan, bahwa perintah-perintah di atas sekaligus perintah untuk mewujudkan institusi yang bisa merealisasikan perintah. Institusi itu tak lain adalah negara.
Selain perintah dari al-Quran, ucapan, tindakan dan diamnya Nabi saw. juga membuktikan bahwa beliau telah mendirikan negara. Pertama: Hadis Bai’at ‘Aqabah II:
Kaab berkata: Kami pun berkata kepada Abbas (paman Nabi saw.), “Kami telah mendengar apa yang Anda sampaikan. Karena itu berbicaralah, wahai Rasulullah. Ambilah untuk diri Tuan dan Rabb Tuan apa yang Tuan inginkan.” Kaab berkata:  Rasulullah saw. pun bersabda, lalu membacakan al-Quran, menyeru mereka kepada Allah dan memberi mereka motivasi tentang Islam. Beliau lalu bersabda, “Aku membaiat kalian agar kalian melindungi aku sebagaimana kalian melindungi istri dan anak-anak kalian.” Kaab berkata: Barra’ bin Ma’rur lalu mengambil tangan beliau dan berkata, “Iya. Demi Zat Yang telah mengutus engkau sebagai nabi dengan membawa kebenaran, kami pasti akan melindungi engkau dari sebagaimana kami melindungi istri dan keluarga kami. Karena itu baiatlah kami, ya Rasulullah. Demi Allah, kami adalah anak-anak yang terbiasa berperang. Kami mewarisi tradisi itu dari generasi ke generasi.” Kaab berkata: Lalu ketika kaum tadi dan al-Barra’ berbicara dengan Rasulullah, tiba-tiba ada yang menyela, yaitu Abu al-Hatsam bin at-Taihan, “Wahai Rasulullah, antara kami dan orang-orang itu ada ikatan, dan kami telah memutuskannya: maksudnya dengan Yahudi. Apakah ketika kami telah melakukan itu, lalu Allah memberikan kemenangan kepada Tuan, lalu Tuan akan kembali kepada kaum Tuan, dan meninggalkan kami?” Kaab berkata: Rasulullah pun tersenyum, lalu bersabda, “Sebaliknya, darahku adalah darah kalian, dan kehormatanku adalah kehormatan kalian. Aku bagian dari kalian dan kalian adalah bagian dari aku. Aku akan memerangi siapa saja yang kalian perangi dan berdamai dengan siapa saja yang kalian ajak damai.” Beliau pun bersabda, “Kirimkanlah kepadaku dari kalian dua belas wakil agar menjadi wakil kaumnya.” Mereka pun mengirimkan dua belas wakil dari kalangan mereka. Sembilan dari Khazraj dan tiga dari Aus (HR Ahmad).
Hadis Baiat ini dengan jelas dan tegas menyatakan, bahwa kaum Anshar sebagai ahl al-nushrah wa al-man’ah (kaum yang memberikan pertolongan dan perlindungan) telah memberikan nushrah dan man’ah-nya kepada Nabi saw., yang sekaligus menandai transisi kekuasaan dari mereka kepada beliau. Baiat ini bukan hanya baiat untuk menolong dan melindungi, tetapi juga untuk berperang melawan musuh-musuh mereka. Baiat ini paralel dengan nas-nas di atas.
Kedua: Hadis-hadis tentang pembentukan pasukan perang, peperangan Nabi saw., perjanjian, perdamaian, pengangkatan waliqâdhi (hakim) di wilayah-wilayah di luar Hijaz, penaklukan Jazirah Arab pada zamannya; termasuk bisyarah takluknya Yaman, Persia, Romawi hingga Konstantinopel. Ada juga hadis-hadis serupa yang tidak terhitung jumlahnya. Semua itu membuktikan bahwa Nabi saw. membangun kekuasaan (negara).
Ketiga: Hadis-hadis tentang adanya Khilafah dan para khalifah sepeninggal Nabi saw. yang melanjutkan kepemimpinan beliau dalam urusan dunia dan agama. Ini juga membuktikan bahwa Nabi saw. mendirikan negara.  Beliau, antara lain, bersabda:
كَانَتْ بَنُوْ اِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّماَ هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ مِنْ بَعْدِيْ، وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءَ فَيَكْثُرُوْنَ [رواه مسلم]
Dulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, dia akan digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi setelah aku. Yang akan ada adalah para khalifah sehingga jumlah mereka banyak (HR Muslim).
Keempat: Hadis-hadis tentang kewajiban adanya baiat di atas pundak kaum Muslim dan larangan melepaskan baiat. Baiat itu tentu diberikan kepada Khalifah (kepala negara), bukan kepada Muhammad saw. sebagai nabi. Alasannya, nabi tidak membutuhkan baiat.
Nabi saw. pun dibaiat, sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ubadah bin Shamit, “Kami membaiat Rasulullah saw. agar  mendengar dan menaati beliau, baik dalam kelapangan maupun keterpaksaan kami, dalam kesulitan maupun kelapangan kami, dan agar kami tidak merebut urusan (kekuasaan) ini dari yang berhak (HR Muslim).
Selain nas-nas al-Quran dan as-Sunnah di atas, juga ada Ijmak Sahabat. Para Sahabat sepakat untuk mengangkat pengganti Nabi saw., yang akan mengurus urusan agama dan dunia, termasuk di dalamnya adalah urusan negara. Jika Nabi saw. tidak mendirikan negara dan tidak mempunyai kekuasaan, lalu apa artinya kesepakatan mereka ketika mengangkat Abu Bakar, lalu diikuti dengan pengangkatan ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali sepeninggal Rasulullah, kalau bukan kesepakatan untuk menjaga kekuasaan dan negara?
WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Read more

Hukum Menjual Dropshipping, Apakah Halal?



Pertanyaan : 
Assalamu’alaikum 

Ustadz  saya mau tanya, apa hukum jualan menggunakan sistem dropship? Caranya adalah saya menjual barang yang belum ada pada saya ke si A. Begitu si A transfer, saya membeli dari si B dan si B tersebut mengirimkan barangnya ke si A menggunakan nama saya sebagai pengirim.

Apakah jual beli seperti ini halal?

Wassalam
Jawaban : 

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jawaban singkatnya boleh. Lalu bagaimana penjelasannya, mari kita bahas dari awal.

Dalam hukum jual-beli, tidak ada syarat yang melarang seseorang menjual barang milik orang lain. Juga tidak ada keharusan seseorang harus punya barang terlebih dahulu, baru boleh dia jual. Jadi prinsipnya, seorang boleh menjual barang milik orang lain, asalkan seizin dari yang punya. Dan seseorang boleh menjual 'spek' yang barangnya belum dimilikinya.

Cara Pertama : Simsarah

Cara ini disebut simsarah, yaitu seeorang menjualkan barang milik orang lain dan dia mendapat fee atas jasa menjualkannya. Akad yang pertama ini disepakati kehalalnya oleh seluruh ulama.

Bukankah si penjaga toko biasanya bukan pemilik barang? Barang-barang yang ada di toko itu bukan milik penjaga. Status penjaga cuma karwayan saja, bukan pemilik toko dan juga bukan pemilik barang. Bolehkah penjaga toko menjual barang yang bukan miliknya? Jawabannya tentu 100% boleh. Justru tugas utama si penjual di toko adalah bagaimana menjualkan barang yang bukan miliknya.

Kalau penjaga toko menjual barang miliknya sendiri di toko tempat dia bekerja, itu namanya pelanggaran dan dia bisa dipecat oleh bosnya.

Dan lebih jauh, ternyata barang yang ada di toko itu pun belum tentu milik bosnya. Karena barang-barang itu ternyata cuma konsinyasi saja. Kalau barang itu laku, uangnya disetorkan, kalau tidak laku, barangnya dikembalikan. Jadi dalam hal ini status toko bukan sebagai pemilik barang, status toko hanya menjualkan barang milik orang lain.

Lalu bagaimana dengan hadits berikut ini yang melarang kita menjual sesuatu yang tidak ada pada diri kita?


لاَ تَبِعْ مَالَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki (HR. Tirmizy, Ahmad, An-Nasai, Ibnu Majah, Abu Daud)

Hadits ini melarang seseorang menjual barang yang bukan miliknya, maksudnya seseorang menjual barang yang memang dia tidak bisa mengadakannya atau menghadirkannya. Misalnya, jual ikan tertentu yang masih ada di tengah lautan lepas. Tentu tidak sah, karena tidak ada kepastian bisa didapat atau tidak. Atau jual mobil yang bisa terbang dengan tenaga surya. Untuk saat ini masih mustahil sehingga hukumnya haram.
Selain itu para ulama juga menyebutkan bahwa maksud larangan dalam hadits ini adalah seseorang menjual barang milik orang lain tanpa SEIZIN dari yang empunya. Perbuatan itu namanya pencurian alias nyolong.
Tapi kalau yang punya barang malah minta dijualkan, tentu saja hukumnya halal. Dan yang menjualkan berhak untuk mendapatkan fee atas jasa menjualkan.

Kesimpulannya : Tidak ada larangan menjual barang milik orang lain, asalkan seizin dari yang punya barang.

Cara Kedua : Akad Salam (Salaf)

Cara kedua disebut dengan jual-beli salam, atau akad salam. Terkadan juga disebut dengan akad salaf. Keduanya bermakna sama. Bentuknya merupakan kebalikan dari jual-beli hutang atau kredit. Dalam jual-beli secara hutang atau kredit, barangnya diberikan duluan tetapi uangnya masih dihutang, alias dicicil.

Contohnya jual-beli sepeda motor secara kredit. Bila kita beli motor secara kredit, motor langsung kita bawa pulang, padahal uangnya masih ngutang selama tiga tahun. Status motor sudah 100% milik kita, meski pembayarannya masih berjangka.

Nah, akad salam adalah kebalikan dari akad kredit di atas. Yang dibayarkan tunai adalah uangnya, sementara barang atau jasanya dihutang. Hukumnya boleh dan sah dalam hukum syariah. Dan sebenarnya setiap hari kita sudah mempraktekkan.

Contohnya ketika kita beli tiket pesawat atau kereta api. Menjelang musim mudik, biasanya kita sudah beli tiket sejak sebulan sebelumnya, dan itu berarti kita sudah bayar secara tunai. Tetapi barang atau jasa yang menjadi hak kita baru akan kita nikmati bulan depan, sesuai dengan jadwal perjalanan kita.

Contoh lain adalah tukang jualan komputer. Modalnya cuma brosur dan spek (baca : spesifikasi) yang ditawar-tawarkan kepada calon pembeli. Lalu begitu ada yang tertarik, pembeli harus bayar lunas, tetapi komputernya akan dikirim 2-3 hari lagi. Ternyata di tukang komputer itu belum punya komputer, maka dengan uang pembayaran itulah dia berangkat ke Glodok atau Mangga Dua untuk 'belanja' komputer rakitan. Selesai dirakit, maka komputer itu kemudian diantarkan ke pihak pembeli.

Contoh lainnya lagi adalah ibadah haji dan umrah. Semua calon jamaah haji dan umrah harus sudah melunasi ONH atau biaya perjalanan umrah beberapa bulan sebelumnya. Padahal berangkatnya ke tanah suci masih beberapa waktu lagi.

Semua contoh di atas adalah akad salam, dimana uangnya tunai diserahkan, sementara barang atau jasanya tidak secara tunai diberikan. Dan praktek akad salam ini telah berlangsung di masa Nabi SAW dan mendapat pembenaran.
Para shahabat dahulu terbiasa menjual kurma yang belum ada alias pohonnya belum berbuah. Namun buah yang rencananya akan ada itu sudah ditetapkan secara detail dengan jenis tertentu, kualitas tertentu, berat tertentu, dan juga ditetapkan kapan akan diserahkannya.
Tentu kurma dengan spek seperti itu bukan hal yang mustahil untuk didapat atau diwujudkan, apalagi buat pedagang kurma di Madinah. Mereka toh sudah punya pohonnya, tiap tahun pasti berbuah. Maka oleh karena itu hukumnya halal. Dan akad ini disebut akad salam. Meski kurmanya belum berbuah, tetapi sudah boleh dijual duluan, asalkan speknya jelas dan pasti.
Dasarnya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ ص اَلْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Ibnu Abbas RA berkata bahwa ketika Nabi SAW baru tiba di Madinah, orang-orang madinah biasa menjual buah kurma dengan cara salaf  satu tahun dan dua tahun. Maka Nabi SAW bersabda,"Siapa menjual buah kurma dengan cara salaf, maka lakukanlah salaf itu dengan timbangan yang tertentu, berat tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالا: كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَِسَلَّمَ وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ؟ قَالا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ - رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Abdurrahman bin Abza dan Abdullah bin Auf RA keduanya mengatakan,"Kami biasa mendapat ghanimah bersama Rasulullah SAW. Datang orang-orang dari negeri syam. Lalu kami melakukan akad salaf kepada mereka untuk dibayar gandum atau sya’ir atau kismis dan minyak sampai kepada masa yang telah tertentu. Ketika ditanyakan kepada kami,"Apakah mereka itu mempunyai tanaman?”. Jawab kedua sahabat ini,"Tidak kami tanyakan kepada mereka tentang itu”. (HR Bukhari dan Muslim)
قال ابن عباس : أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى قد أحل الله في كتابه وأذن فيه ثم قرأ هذه الآية (أخرجه الشافعي في مسنده)
Ibnu Al-Abbas berkata, Aku bersaksi bahwa akad salaf (salam) yang ditanggung hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya dan Dia telah mengizinkannya. Kemudian beliau membaca ayat ini. (HR Asy-Syafi'i dalam musnadnya)

Dropship Halal

Dari dua cara akad di atas, maka jual beli dropship ini tidak melanggar ketentuan syariah.  Meski kita sebagai penjual belum punya barangnya, dan modal kita cuma spek saja, tetapi syariat Islam membolehkan akad seperti ini. Akadnya bisa saja sebagai simsarah, atau broker. Mungkin yang agak mendekati adalah resaler. Berarti kita tidak membeli barang atau jasa, kita hanya membantu menjualkan barang atau jasa orang lain. Lalu kita mendapat fee dari tiap penjualan.
Atau akadnya bisa juga pakai akad kedua, yaitu akad salam. Pembeli membayar dulu kepada kita atas suatu barang atau jasa yang belum kita serahkan, bahkan belum kita miliki. Lalu uang pembayarannya itu baru kita belikan barang yang dimaksud, dan kita jualkan kepada si pembeli, dimana kita mendapatkan selisih harganya.
Kalau barang itu mau diatas-namakan milik kita juga boleh, karena kita memang benar-benar membeli dari sumbernya dan kita menjual kembali. Bahwa barang itu tidak sempat mampir ke tangan kita, tidak menjadi masalah.
Toh, minyak kelapa sawit yang ada di hutan Kalimantan itu dijual ke berbagai negara lain (ekspor), tanpa harus mampir ke rumah pemiliknya. Siapa pemiliknya? Ya, wong londho yang ada di Belanda sana. Mereka cuma tahu bahwa rekening mereka tiap hari bertambah terus, tanpa pernah melihat sendiri kayak apa minyak kelapa sawit yang mereka perjual-belikan.
Hanya saja dalam akad salam ini, harus dipenuhi beberapa syarat dan ketentuan, antara lain :

Syarat Pada Barang
1. Bukan Ain-nya Tapi Spesifikasinya
Dalam akad salam, penjual tidak menjual ain suatu barang tertentu yang sudah ditetapkan, melainkan yang dijual adalah barang dengan spesifikasi tertentu.
Sebagai contoh, seorang pedagang material bangunan menjual secara salam 10 kantung semen dengan merek tertentu dan berat tertentu kepada seorang pelanggan. Kesepakatannya pembayaran dilakukuan saat ini juga, namun penyerahan semennya baru 2 bulan kemudian, terhitung sejak akad itu disepakati.
Walaupun saat itu mungkin saja si pedagang punya 10 kantung semen yang dimaksud di gudangnya, namun dalam akad salam, bukan berarti yang harus diserahkan adalah 10 kantung itu. Pedagang itu boleh saja dia menjual ke-10 kantung itu saat ini ke pembeli lain, asalkan nanti pada saat jatuh tempo 2 bulan kemudian, dia sanggup menyerahkan 10 kantung semen sesuai kesepakatan.
Sebab yang dijual bukan ke-10 kantung yang tersedia di gudang, tapi yang dijual adalah 10 kantung yang lain, yang mana saja, asalkan sesuai spesifikasi.
2. Barang Jelas Spesifikasinya
Barang yang dipesan harus dijelaskan spesifikasinya, baik kualitas mau pun juga kuantitas. Termasuk misalnya jenis, macam, warna, ukuran, dan spesifikasi lain. Pendeknya, setiap kriteria yang diinginkan harus ditetapkan dan dipahami oleh kedua-belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada di hadapan mereka berdua.
Dengan demikian, ketika penyerahan barang itu dijamin 100% tidak terjadi komplain dari kedua belah pihak.
Sedangkan barang yang tidak ditentukan kriterianya, tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena akad itu termasuk akad gharar (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut:
أنَّ النبي ص نهى عن بيع الغرر- رواه مسلم
Nabi SAW jual-beli untung-untungan." (HR Muslim)
3. Barang Tidak Diserahkan Saat Akad
Apabila barang itu diserahkan tunai, maka tujuan utama dari salam malah tidak tercapai, yaitu untuk memberikan keleluasan kepada penjual untuk bekerja mendapatkan barang itu dalam tempo waktu tertentu.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Qadhi Ibnu Abdil Wahhab mengatakan bahwa salam itu adalah salaf, dimana akad itu memang sejak awal ditetapkan untuk pembayaran di awal dengan penyerahan barang belakangan.
4. Batas Minimal Penyerahan Barang
Al-Karkhi dari Al-Hanafiyah menyebutkan minimal jatuh tempo yang disepakati adalah setengah hari dan tidak boleh kurang dari itu.
Ibnu Abil Hakam mengatakan tidak mengapa bila jaraknya 1 hari.
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Malik bahwa minimal jarak penyerahan barang adalah 2 atau 3 hari sejak akad dilakukan.
Ulama lain menyebutkan minimal batasnya adalah 3 hari, sebagai qiyas dari hukum khiyar syarat.
5. Jelas Waktu Penyerahannya
Harus ditetapkan di saat akad dilakukan tentang waktu (jatuh tempo) penyerahan barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Hingga waktu (jatuh tempo) yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Para fuqaha sepakat bila dalam suatu akad salam tidak ditetapkan waktu jatuh temponya, maka akad itu batal dan tidak sah. Dan ketidak-jelasan kapan jatuh tempo penyerahan barang itu akan membawa kedua-belah pihak ke dalam pertengkaran dan penzaliman atas sesama.
Jatuh tempo bisa ditetapkan dengan tanggal, bulan, atau tahun tertentu, atau dengan jumlah hari atau minggu atau bulan terhitung sejak disepakatinya akad salam itu.
6. Dimungkinkan Untuk Diserahkan Pada Saatnya
Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam syari'at Islam.
Misalnya seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga dengan perjanjian: "Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah durian dan mangga", maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur gharar (untung-untungan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah "memudahkan", sebagaimana disebutkan pada hadits berikut:
لا ضَرَرَ ولا ضِرَار
Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan. (HR. Ahmad)
Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya barang di pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang.
7. Jelas Tempat Penyerahannya
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur gharar (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha –dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau dari perusahaannya.

Demikian sedikit ulasan tentang hukum dropshipping yang Antum tanyakan, semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahamtullahi wabrakatuh,
Ahmad Sarwat,LC.,MA
Read more

LARANGAN MEMOTONG KUKU DAN RAMBUT BAGI ORANG YANG HENDAK BERKURBAN



Soal:

Ustadz saya mau tanya, benarkah ada larangan memotong kuku dan rambut bagi orang yang hendak berkurban? Karena ada hadits Nabi SAW,”Apabila engkau telah memasuki 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sedangkan salah satu di antara kalian ingin berkurban maka janganlah dia memotong sedikit pun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR Muslim). (08175494282)

Jawab :

Memang ada larangan bagi yang akan berkurban, maksudnya bagi yang akan menyembelih kurban, untuk memotong kuku dan rambutnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Dalilnya adalah hadits yang sudah disebut di atas dari Ummu Salamah RA dalam berbagai bunyi riwayat. Hanya saja lafazh hadits yang dikutip di atas sebenarnya masih ada lanjutannya. Lengkapnya adalah :

“Jika telah masuk 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sedangkan salah satu di antara kalian ingin berkurban maka janganlah dia memotong sedikit pun bagian dari rambut dan kulitnya hingga dia menyembelih.”(HR Muslim).(Lihat Abdul Muta’al Al-Jabari, Cara Berkurban (Al-Udhhiyyah : Ahkamuha wa Falsafatuha at-Tarbawiyah), [Jakarta : Gema Insani Press, 1994], hal. 66)

Namun hadits di atas tidak hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no 1977), tapi sebagaimana dijelaskan Imam Syaukani, hadits itu juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (hadits no 2791), dan Imam an-Nasa’i (Juz VII/hal. 211). (Imam Syaukani,Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 1008). Menurut Imam Suyuthi, hadits semakna juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah (Imam Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, I/25).

Hanya saja para ulama berbeda pendapat apakah larangan itu bermakna pengharaman atau sekedar larangan makruh. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf al-A`immah (Beirut : Darul Fikr, 1996) karya Qadhi Shafad hal. 74 disebutkan pendapat imam yang empat dalam masalah ini sebagai berikut :

“Jika memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, maka barangsiapa yang bermaksud untuk menyembelih kurban, disunnahkan baginya menurut Imam Malim dan Syafi’i untuk tidak mencukur rambut dan memotong kukunya hingga dia selesai menyembelih kurban. Jika dia mengerjakan perbuatan itu, hukumnya makruh. Imam Abu Hanifah berkata,’Itu [mencukur rambut dan memotong kuku] adalah mubah, tidak dimakruhkan dan tidak pula disunnahkan. Imam Ahmad mengharamkan perbuatan tersebut.”

Imam Syaukani juga menjelaskan adanya perbedaan pendapat dalam masalah tersebut dalam kitabnya Nailul Authar. Imam Syaukani meriwayatkan, bahwa menurut Said bin Musayyab, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq, Daud, sebagian ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah, larangan mencukur rambut dan memotong kuku dalam hadits tersebut adalah dalam arti pengharaman (tahrim). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1008; Abdul Muta’al Al-Jabari, Cara Berkurban, hal. 66).

Sementara itu menurut Imam Syafi’i dan para pengikutnya, hukumnya makruh tanzih, bukan haram. Imam Abu Hanifah berkata, hukumnya tidak makruh. Pendapat Imam Malik ada tiga riwayat; dalam satu riwayat, hukumnya tidak makruh, dalam riwayat kedua, hukumnya makruh, dan dalam riwayat ketiga, hukumnya haram jika kurbannya kurban sunnah (Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Maa Yajtanibuhu fi Al-‘Asyari Man Araada al-Tadh-hiyyah, hal. 1008).

Menurut kami, pendapat yang memakruhkan adalah lebih kuat (rajih), karena terdapat hadits lain yang menjadi qarinah (indikasi) bahwa larangan pada hadits Ummu Salamah di atas adalah larangan makruh, bukan larangan haram. Imam ash-Shan’ani dalam Subulus Salam Juz IV hal. 96 mengenai masalah ini berkata,”Telah terdapat qarinah bahwa larangan itu bukanlah pengharaman.” (qad qaamat al-qarinah ‘ala anna an-nahya laysa lit tahrim).

Hadits lain yang menjadi qarinah itu adalah hadits ‘Aisyah RA, bahwa Ziyad bin Abu Sufyan pernah menulis surat kepada ‘Aisyah, bahwa Abdullah Ibnu Abbas berkata,’Barangsiapa membawa hadyu, maka haram atasnya apa-apa yang haram atas orang yang sedang haji, hingga dia menyembelih hadyu-nya.” Maka ‘Aisyah berkata,’Bukan seperti yang diucapkan Ibnu Abbas. Aku pernah menuntun hadyu hadyu milik Rasulullah SAW dengan
tanganku lalu Rasulullah SAW mengalungkan tali-tali itu dengan tangan beliau, kemudian beliau mengirimkan hadyunya bersama ayahku [Abu Bakar], maka Rasulullah tidak mengharamkan atas sesuatu yang dihalalkan oleh Allah bagi beliau hingga beliau mengembelih hadyu-nya.” (HR Bukhari dan Muslim; Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Anna Man Ba’atsa bi-Hadyin Lam Yahrum ‘Alaihi Syaiun Bi-Dzalika, hal. 1004-1005; Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz IV hal. 96)

Imam Syafi’i berkata,”Dalam hadits ini terdapat dalalah [petunjuk, dalil] bahwa tidak haram atas seseorang sesuatu pun karena tindakannya mengirimkan hadyu-nya. Padahal mengirimkan hadyu adalah lebih banyak/lebih besar daripada kehendak menyembelih kurban.” (fiihi dalalatun ‘ala annahu laa yahrumu ‘ala al-mar`i syai’un bi-ba’tsihi bi-hadyihi. Wa al-ba’tsu bi al-hadyi aktsaru min iradah al-tadh-hiyyah) (Lihat Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz IV hal. 96).

Jadi, hadits Aisyah di atas oleh Imam Syafi’i dijadikan qarinah bahwa larangan memotong kuku dan rambut bagi orang yang hendak menyembelih kurban (dalam hadits Ummu Salamah) adalah larangan makruh, bukanlah larangan haram.

Kesimpulannya, bagi orang yang hendak berkurban, makruh hukumnya bagi dia untuk memotong kuku dan rambutnya pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah hingga dia selesai menyembelih kurbannya. Wallahu ‘alam [ ]

Yogyakarta, 27 Desember 2006

Muhammad Shiddiq al-Jawi
Read more

HUKUM-HUKUM ARISAN



Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Arisan dalam bahasa Arab disebut jam'iyyah al muwazhzhafiin_ atau _al qardh al ta'aawuni.

Arisan hukumnya boleh karena termasuk dalam akad qardh (pinjaman) yang hukumnya boleh. Namun jika melanggar hukum syara' tentang qardh (pinjaman), arisan hukumnya tidak boleh atau haram.

Hukum-hukum Arisan dalam Syariah Islam antara lain sbb,

(1) jumlah uang yang diperoleh pemenang arisan wajib sama dgn akumulasi iuran yang dibayarkan oleh seorang peserta arisan. Selisih kurang atau lebih adalah riba.

(2) jika dalam arisan yg dikumpulkan adalah uang, maka pemenang arisan hanya boleh menerima uang yang sama jenisnya dan yang sama jumlahnya.

(3) jika dalam arisan yg dikumpulkan adalah barang, (misal beras, gula, dll) maka pemenang arisan hanya boleh menerima barang yang sama jenisnya dan yang sama berat/takarannya.

(4)  tidak boleh arisan yg mengumpulkan uang, tapi pemenangnya mendapat barang. Demikian pula sebaliknya, tidak boleh arisan yg  mengumpulkan barang, tapi pemenangnya mendapat uang.

(5) dalam hal pemenang arisan menginginkan mendapat barang dari arisan uang, hukumnya boleh jika memenuhi 2 (dua) syarat;

Pertama, pemenang arisan diberi opsi (pilihan), yaitu boleh mengambil uang dan boleh pula mengambil barang.
Kedua, pemenang arisan yg memilih opsi mengambil barang, harus melakukan akad jual beli yg terpisah dg akad arisan di awal.

(6) biaya operasional atau konsumsi tidak boleh diambil atau dipotong dari uang arisan.
(7) biaya operasional atau konsumsi harus dipisah dari uang arisan.

(8) tidak boleh ada lelang dalam arisan. Karena lelang pasti akan menimbulkan riba, yaitu tambahan dari jumlah arisan yg sdh dibayar oleh pemenang lelang. _Wallahu a'lam_


Yogyakarta, 18 Agustus 2017
M. Shiddiq Al Jawi
081328744133
shiddiq_aljawi@protonmail.com
Read more

HUKUM ARISAN BARANG


Tanya :
_Ustadz, mohon dijelaskan hukum arisan barang?_ (Bu Syam, Semarang)

Jawab :

Arisan barang adalah arisan dimana pesertanya mendapatkan barang, yang biasanya berharga mahal, seperti buku ensiklopedi, sepeda motor, dan lain-lain. Arisan barang dianggap solusi untuk meringankan beban peserta arisan yang umumnya tidak mampu membeli barang mahal secara _cash_.

Mekanismenya seperti arisan biasa, yakni peserta membayar iuran berupa uang, hanya saja pemenang arisan setelah kocokan tidak mendapat uang, melainkan mendapat barang.

Sebagai contoh, penjual buku menjual sebuah buku Ensiklopedi dengan dua cara. _Pertama_, jika dibeli cash harganya Rp 2.010.000. _Kedua_, jika dibeli secara kredit, penjual buku tersebut menjualnya dengan sistem arisan barang. Arisan ini diikuti oleh 5 orang peserta yang tergabung dalam satu kelompok. Jangka waktu arisan selama 5 bulan, dan per bulan setiap peserta membayar iuran Rp 412.000, yang ditransfer oleh peserta ke nomor rekening penjual buku. Pemenang arisan ditentukan menggunakankan fasilitas aplikasi untuk memilih pemenang secara acak (random).

Bolehkah arisan barang seperti? Jawabannya adalah tidak boleh atau haram. Mengapa? Karena ada 2 (dua) alasan sbb :

*Pertama*, karena arisan barang tersebut melanggar hukum tentang _qardh_ (pinjaman), yakni pinjaman dalam akad qardh wajib dikembalikan dalam jenis barang yang sama dan dalam kuantitas yg sama. Jadi kalau pinjam uang kembalinya harus uang, yang sama jenis dan jumlahnya. Tidak boleh pinjam uang tapi kembali barang. Padahal dalam arisan barang, yang dikumpulkan adalah uang, tetapi pemenang arisan menerima barang. Jelas hal ini tidak dibolehkan secara syariah, karena melanggar hukum _qardh_ (pinjaman). (Taqiyuddin an Nabhani, _Al Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam,_ Bab Qardh).

*Kedua*, karena arisan barang tersebut melanggar larangan _shafqatain fi shafqah_, artinya dua kesepakatan (akad) dlm satu kesepakatan (akad), dimana satu akad menjadi syarat bagi akad lain. Penggabungan dua akad menjadi satu akad yang seperti itu tidak dibolehkan secara syariah. Dalilnya adalah hadits Ibnu Mas'ud RA yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.(HR Ahmad, hadis shahih).(Taqiyuddin an Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, juz II, Bab al Bai' bi al Dayn)

Maka dari itu, arisan barang tidak boleh, karena berarti menggabungkan akad _qardh_ (antar sesama peserta arisan) dengan akad jual beli (antar pemenang arisan dgn pedagang), dimana akad _qardh_ menjadi syarat bagi akad jual beli.

Berdasarkan dua alasan tersebut, kami berpendapat arisan barang itu haram.

Tapi arisan barang tersebut masih dapat dikoreksi akadnya sehingga hukumnya boleh asalkan memenuhi 2 (dua) syarat:

*Satu,* pemenang arisan diberi opsi mau ambil uang atau barang.

*Dua,* jika pemenang arisan milih ambil barang, harus ada akad lagi yaitu akad jual beli.

Kedua syarat tsb wajib ada untuk menghindarkan diri dari larangan mengembalikan _qardh_ dg barang yg tidak sejenis dan larangan _shafqatain fi shafqah._

Syarat pertama yakni pemberian opsi bagi pemenang arisan, wajib ada. Sebab jika syarat ini tidak ada, pemenang arisan berarti wajib mengambil barang, padahal dia memberi qardh dlm bentuk uang. Ini jelas melanggar hukum _qardh_, yaitu larangan mengembalikan _qardh_ dgn barang yg tidak sejenis.

Syarat kedua, yaitu harus ada akad jual beli jika pemenang arisan memilih mengambil barang, juga wajib ada. Sebab jika syarat ini tidak ada, pemenang arisan itu akan melanggar larangan _shafqatain fi shafqah_. Karena dia telah menggabungkan akad arisan (qardh) dgn akad jual beli sebagai satu akad yg tak terpisahkan. Ini tidak boleh secara syariah.

Kesimpulannya, arisan barang hukumnya haram. Solusinya, diberlakukan dua syarat; (1) pemenang arisan diberi opsi, boleh ambil uang atau ambil barang; (2) jika pemenang arisan memilih ambil barang, wajib melakukan akad jual beli yang terpisah dari akad arisan.

_Wallahu a'lam._

Yogyakarta, 24 Agustus 2017
KH. M.Shiddiq Al Jawi
No HP : 081328744133


Read more